Senin, 26 Januari 2015

FAKTA ILMIAH DAN KECEPATAN CAHAYA DALAM AL-QUR'AN


السلام عليكم
 بِسْــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم. لا إله إلا الله محمد رسو  ل الله الحمد لله رب العا لمين الصلاة و السلام على رسو ل الله.اما بعد

Kecepatan Cahaya, Kecepatan gelombang elektro magnetic yg tercepat di jagat ini, yaitu:299792.5 Km/detik, yang baru diketahui abad 20 tentu saja dengan peralatan canggih & modern terakhir, namun hal ini ternyata telah ditulis Al-Qur’an 1400 Tahun yang lalu.

Mungkin saudara saudara pernah tahu jika konstanta C, atau kecepatan cahaya yaitu kecepatan tercepat di jagat raya ini diukur, dihitung atau ditentukan oleh berbagai institusi berikut:
  • US National Bureau of Standards, C = 299792.4574 + 0.0011 km/det 
  • The British National Physical Laboratory, C = 299792.4590 + 0.0008 km/det 
  • Konferensi ke-17 tentang Penetapan Ukuran dan Berat Standar: ”Satu meter adalah jarak tempuh cahaya dalam ruang vacum selama jangka waktu 1/299792458 detik".

Sekarang, mari kita perhatikan apa yg Qur’an tulis tentang kecepatan cahaya.

(QS. Yunus [10]:5). 
~ "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (jalan-jalan) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda kepada orang-orang yang mengetahui.

(QS Al-Anbiyaa [21]: 33).
~ "Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.

(QS. Ash-Sajdah [32]: 5).
~ "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu

Sekarang, mari kita perhatikan dengan seksama.
Jarak yang dicapai “Sang urusan” selama 1 hari = jarak yang ditempuh bulan selama 1000 tahun atau 12000 bulan.

C . t  = 12000 . L  dimana :
  • C = kecepatan Sang urusan                
  • t  = waktu selama satu hari                
  • L = panjang rute edar bulan selama satu bulan 
Sekarang, sistem kalender telah diuji mendapatkan nilai C yang sama dengan nilai C yang sudah diketahui setelah pengukuran.


Ada dua macam system kalender bulan:

1. Sisyem sinodik, didasarkan atas penampakan semu gerak bulan dan matahari dari bumi.   
1 hari     = 24 jam   
1 bulan  = 29.53059 hari

2.Sistem sidereal, didasarkan atas pergerakan relatif bulan dan matahari terhadap bintang dan alam semesta.   1 hari    = 23 jam 56 menit 4.0906 detik = 86164.0906 detik   
1 bulan  = 27.321661 hariBulan kembali ke posisi semula tepat pada garis lurus antara matahari dan bumi. 

Periode ini disebut “satu bulan sinodik”

Selanjutnya perhatikan rute bulan selama satu bulan sidereal, Rutenya bukan berupa lingkaran seperti yang mungkin anda bayangkan melainkan berbentuk kurva yang panjangnya L =   v . T.
Dimana:   
v  =  kecepatan bulan   
T  =  periode revolusi bulan  
=  27.321661 hari

a = 27.321661 days/365.25636 days x 360 o = 26.92848o

Ada dua tipe kecepatan bulan :
1. Kecepatan relatif terhadap bumi yang bisa dihitung dengan  rumus berikut:  
ve = 2 . p . R / T

dimana  R = jari-jari revolusi bulan = 384264 km   

T = periode revolusi bulan = 655.71986 jam
Jadi  ve =  2  X  3.14162  X  384264 km / 655.71986 jam
=  3682.07 km/jam

2.  Kecepatan relatif terhadap bintang atau alam semesta. Yang ini yang akan diperlukan.

Einstein mengusulkan bahwa kecepatan jenis kedua ini dihitung dengan mengalikan yang pertama dengan cosinus a, sehingga: v  =  Ve X Cos a
Dimana

a  adalah sudut yang dibentuk oleh revolusi bumi selama satu bulan sidereal
a  = 26.92848o

Bandingkan C (kecepatan sang urusan) hasil perhitungan dengan nilai C (kecepatan cahaya) yg sudah diketahui ! 
Jika:
L = v . T
v  =  Ve X Cos a
Ve = 3682.07 km/jam
a =  26.92848 o
T = 655.71986 jam
t = 86164.0906 detik

Maka:
C . t = 12000 . L
C . t = 12000 . v . T
C . t = 12000 . (Ve X Cos a) .T
C  = 12000 . ve . Cos a . T / t
C  = 12000 * 3682.07 km/jam X 0.89157 X 655.71986 jam / 86164.0906 detik
C  = 299792.5 km/det


Sekarang,,, mari kita bandingkan antara perhitungan yg ditulis Qur’an denganperhitungan abad 20.

  • Qur’an --------------------------------------> C = 299792.5 Km/detik
  • US National Bureau of Standards, ----------> C = 299792.4574 + 0.0011 km/detik
  • The British National Physical Laboratory, --> C = 299792.4590 + 0.0008 km/detik

Konferensi ke-17 tentang Penetapan Ukuran dan Berat Standar: ”Satu meter adalah jarak tempuh cahaya dalam ruang vacum selama jangka waktu 1/299792458 detik".

Kesimpulan dari Profesor Elnaby:
“Perhitungan ini membuktikan keakuratan dan konsistensi nilai konstanta C hasil pengukuran selama ini dan juga mnunjukkan kebenaran AlQuranul karim sebagai wahyu yang patut dipelajari dengan analisis yang tajam karena penulisnya adalah ALLAH, Sang Pencipta Alam Semesta Raya.
”Elnaby, M.H, 1990, A New Astronomical Quranic Method for The Determination of The Greatest Speed CFix, John D, 1995, Astronomy, Journey of the Cosmic Frontier, 1st edition, Mosby-Year Book, Inc., St Louis, Missouri 
Qur’anul Kariim, Tahun 611 Masehi, ALLAH Azza Wa Jalla, Pencipta Alam Semesta Raya

(Qur'an Surat As-Sajdah [32]:1-5)
  1. Alif laam miim..
  2. Turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, dari Tuhan semesta alam.. 
  3. Tetapi mengapa mereka mengatakan: "Dia Muhammad mengada-adakannya." Sebenarnya Al-Quran itu adalah kebenaran dari Rabbmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk. 
  4. Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia  bersemayam di 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak seorang pemberi syafa'at. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? 
  5. Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanyadalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu..
JADI....:
1 bukti lagi… Islam ---> TERBUKTI BENAR
  • Adakah dalam kitab agama lain yg boleh menjelaskan masalah kecepatan cahaya ini???

(Qs.An-Nisaa' [4]:82).

  • "MAKA APAKAH MEREKA TIDAK MEMPERHATIKAN AL-QUR'AN? KALAU SEKIRANYA AL-QURAN ITU BUKAN DARI SISI ALLAH, TENTULAH MEREKA MENDAPAT PERTENTANGAN YANG BANYAK DIDALAMNYA".
---------------------------
PENJELASAN AYAT2 DALIL RUJUKAN..

[32:5] Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu^1191 >[^1191: Maksud "urusan itu naik kepadaNya" ialah beritanya yang dibawa oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagunganNya.]
Hanya Allah sendirilah yang mengurus, mengatur, mengadakan dan melenyapkan segala yang ada dalam dunia ini. Segala yang terjadi itu adalah sesuai dengan kehendak dan ketetapan-Nya, tidak ada sesuatupun yang menyimpang dari kehendak-Nya itu. Pengaturan itu dimulainya dari langit hingga sampai ke bumi, kemudian urusan itu naik kembali kepada-Nya. Semua yang tersebut pada ayat ini merupakan gambaran dari kebesaran dan kekuasaan Allah, agar manusia mudah memahaminya. 
Kemudian DIA menggambarkan pula waktu yang digunakan Allah SWT mengurus, mengatur dan menyelesaikan segala urusan alam semesta ini, yaitu selama sehari, tetapi ukuran sehari itu sama lamanya dengan 1000 tahun dari ukuran tahun yang dikenal manusia di dunia ini. Perkataan seribu tahun dalam bahasa Arab tidak selamanya berarti 1000 dalam arti sebenarnya, tetapi kadang-kadang digunakan untuk menerangkan banyaknya sesuatu jumlah atau lamanya waktu yang diperlukan. >> Dalam ayat ini bilangan seribu itu digunakan untuk menyatakan lamanya waktu kehidupan alam semesta ini. Sejak Allah menciptakannya pertama kali sampai kehancurannya di hari kiamat, kemudian kembalinya segala urusan ke tangan Allah, yaitu hari berhisab menempuh waktu yang lama sekali, sukar manusia menghitungnya. Dalam ayat yang lain digunakan perkataan ribuan itu untuk menerangkan lamanya waktu yang terpakai, seandainya manusia naik menghadap Allah, sekalipun para malaikat hanya sehari saja,

Allah SWT berfirman: 
تعرج الملائكة والروح إليه في يوم كان مقداره خمسين ألف سنة  > Artinya: 
  • "Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Q.S. Al Ma'arij: 4) 
Ada pula yang berpendapat bahwa maksud ayat ini ialah segala urusan dunia ini kembali kepada Allah di hari kiamat dalam waktu satu hari, yang sama lamanya dengan 1.000 tahun waktu di dunia ini. Sebagian mufassir yang lain menafsirkan ayat ini: "Para malaikat naik kepada Allah ke langit dalam satu hari. Jika jarak itu ditempuh selain oleh malaikat, maka ia memerlukan waktu 1.000 tahun. Rasulullah saw. dalam malam mi'raj pernah naik ke langit bersama malaikat Jibril menghadap Allah. Jarak itu ditempuh dalam waktu kurang lebih setengah malam.

  • "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (jalan-jalan) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda kepada orang-orang yang mengetahui.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah swt. yang menciptakan langit dan bumi dan yang bersemayam di atas `Arasy-Nya Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Matahari dengan sinarnya adalah sebagai dasar hidup dan kehidupan, sumber panas dan tenaga yang dapat menggerakkan makhluk-makhluk Allah yang diciptakan-Nya. Dengan cahaya bulan dapatlah manusia berjalan dalam kegelapan malam dan bersenang-senang melepaskan telah di malam hari. Ayat ini membedakan antara yang dipancarkan matahari dan yang dipantulkan oleh bulan, yang dipancarkan oleh matahari disebut "diya" (sinar), sedang yang dipantulkan oleh bulan disebut "nur" (cahaya).

Pada firman Allah swt. yang lalu dijelaskan: 

وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا  Artinya:
  • "Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita." (Q.S. Nuh: 16) 
Dari ayat-ayat ini dipahami bahwa matahari memancarkan sinar yang berasal dari dirinya sendiri bukan dari yang lain sebagaimana pelita memancarkan sinar dari dirinya sendiri, yakni dari api yang membakar pelita itu. Lain halnya dengan bulan yang cahayanya berasal dari sinar yang dipancarkan matahari ke permukaannya, kemudian dipantulkannya sinar itu yang berupa cahaya ke permukaan bumi. 
Hal ini dijelaskan pula oleh firman Allah swt.: 

تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا  > Artinya: 
  • "Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (Q.S. Al-Furqan: 61) 
Dalam hakikat dan kegunaannya terdapat perbedaan antara sinar matahari dan cahaya bulan. Sinar matahari lebih keras dari cahaya bulan. Sinar matahari itu terdiri atas tujuh warna dasar sekalipun dalam bentuk keseluruhannya kelihatan berwarna putih, sedang cahaya bulan adalah lembut, dan menimbulkan ketenangan bagi orang yang melihat dan merasakannya. > Demikian pula kegunaannya.
  • Sinar matahari sebagai disebutkan di atas adalah sebagai sumber hidup dan kehidupan, sumber gerak tenaga dan energi. 
  • Sedang sinar bulan adalah sebagai penyuluh di waktu malam. 
Tidak terhitung banyak kegunaan dan faedah sinar matahari dan cahaya bulan itu bagi makhluk Allah pada umumnya, dan bagi manusia pada khususnya. Semuanya itu sebenarnya dapat dijadikan dalil tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa bagi orang-orang yang mau menggunakan akal dan perasaannya. Allah swt. menerangkan bahwa Dia telah menetapkan garis edar dari bulan itu dan menetapkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanannya. Pada tiap-tiap malam bulan melalui suatu manzilah. Sejak dari manzilah pertama sampai manzilah terakhir memerlukan waktu antara 29 atau 30 malam atau disebut satu bulan. Dalam sebulan itu bulan hanya dapat dilihat selama 27 atau 28 malam, sedang pada malam-malam yang lain bulan tidak dapat dilihat sebagaimana firman Allah swt.: 
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ  Artinya: 
  • "Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah sehingga (setelah dia sampai manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. (Q.S. Yasin: 39) 
Maksud ayat ialah bulan itu pada awal bulan adalah kecil berbentuk sabit, kemudian setelah melalui manzilah ia bertambah besar sampai menjadi purnama, setelah itu kembali berangsur-angsur kecil dan bertambah kecil yang kelihatan seperti tandan yang melengkung, akhirnya menghilang dan muncul kembali pada permulaan bulan. Allah swt. berfirman: 

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ  > Artinya:
  • "Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (Q.S. Ar Rahman: 5) 
Allah swt. menjadikan bulan dan menjadikannya beredar menjalani garis edar dalam manzilah-manzilahnya agar dengan demikian manusia dengan mudah mengetahui bilangan tahun, perhitungan waktu, perhitungan bulan, penentuan hari, jam, detik dan sebagainya sehingga mereka dapat membuat rencana untuk dirinya, untuk keluarganya untuk masyarakat, untuk agamanya serta rencana-rencana lain yang berhubungan dengan hidup dan kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai hamba Allah. Allah berfirman: 

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا  > Artinya: 
  • "Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Q.S. Al-Isra': 12) 
Dengan mengetahui perhitungan tahun, waktu hari dan sebagainya, dapatlah manusia menetapkan waktu-waktu salat, waktu puasa, waktu menunaikan ibadah haji, waktu turun ke sawah dan sebagainya. 

Allah menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan semua makhluk itu adalah berdasarkan kenyataan, keperluan dan mempunyai hikmah yang tinggi.
Dan Allah menerangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya itu kepada orang-orang yang mau menggunakan akal pikirannya dengan benar dan kepada orang-orang yang mengakui kenyataan dan beriman berdasarkan bukti-bukti yang diperolehnya itu.
  • Atau dengan perkataan lain tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah ini tidak akan berfaedah sedikit pun bagi orang-orang yang tidak mau mencari kebenaran yang hatinya dipenuhi oleh rasa dengki dan rasa fanatik kepada kepercayaan yang telah dianutnya.



Temuan Ilmiah Terbaru Dan Al-Qur'an "Teori BIG BANG"







Dalam Surat al-Isra [17] ayat ke-88, Allah menunjukkan keagungan Al Quran: 

[Qul la-ini ijtama'ati al-insu waaljinnu 'alaa an ya'tuu bimitsli haadzaa alqur-aani laa ya'tuuna bimitslihi walaw kaana ba'dhuhum liba'dhin zhahiiraan]

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً 
  • "'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini; niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.'" (QS. Al Isra: 88)
Allah menurunkan Al Quran kepada manusia 14 (empat belas) abad yang lalu. 

Beberapa fakta yang baru dapat diungkapkan dengan teknologi abad ke-21 ternyata telah dinyatakan Allah dalam Al Quran empat belas abad yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa Al Quran adalah salah satu bukti terpenting yang memungkinkan kita mengetahui keberadaan Allah.

Dalam Al Quran, terdapat banyak bukti bahwa Al Quran berasal dari ALLAH, bahwa umat manusia tidak akan pernah mampu membuat sesuatu yang menyerupainya. Salah satu bukti ini adalah ayat-ayat (tanda-tanda) Al Quran yang terdapat di alam semesta.

Sesuai dengan ayat:[sanuriihim aayaatinaa fii al-aafaaqi wafii anfusihim hattaa yatabayyana lahum annahu alhaqqu awa lam yakfi birabbika annahu 'alaa kulli syay-in syahiidun]

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ 
  • "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS. Fushilat [41]: 53), 
Banyak informasi yang ada dalam Al Quran ini sesuai dengan yang ada di dunia eksternal.
  • Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta dan karenanya memiliki pengetahuan mengenai semua itu.
  • Allah juga yang telah menurunkan Al Quran. 
  • Bagi orang-orang beriman yang teliti, sungguh-sungguh, dan arif, banyak sekali informasi dan analisis dalam Al Quran yang dapat mereka lihat dan pelajari.Meskipun demikian, perlu diingat bahwa Al Quran bukanlah buku ilmu pengetahuan. Tujuan diturunkannya Al Quran adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat-ayat berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ 
الَر كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
  • "Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa lagi Maha Terpuji." (QS. Ibrahim [14]: 1)
هُدًى وَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ
  • "… untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir." (QS. Al Mu'min[40]: 54)
Singkatnya, Allah menurunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi orang-orang beriman. Al Quran menjelaskan kepada manusia cara menjadi hamba Allah dan mencari ridha-Nya.

Betapapun, Al Quran juga memberi INFORMASI DASAR mengenai beberapa hal seperti
  • * PENCIPTAAN ALAM SEMESTA, 
  • * KEAJAIBAN PENCIPTAAN HGGA KELAHIRAN MANUSIA , 
  • * STRUKTUR ATMOSFIR, * 
  • dan keseimbangan di langit dan di bumi dlsb 
Kenyataan bahwa informasi dalam Al Quran tersebut SESUAI dengan temuan terbaru ilmu pengetahuan modern adalah hal penting, karena kesesuaian ini MENEGASKAN bahwa Al Quran adalah "FIRMAN ALLAH" yang Maha Segalanya.. 

Menurut ayat 

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
  • "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" (Surat an-Nisa [4]: 82), 
@_@ terdapat keserasian yang luar biasa antara pernyataan di dalam Al Quran dan dunia eksternal.
Pada NOTES berikut insya'Allah kita akan membahas kesamaan yang luar biasa antara informasi tentang alam semesta yang ada dalam Al Quran dan dalam ilmu pengetahuan.
  • "Dia yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah." (Surat Al Mulk: 3-4)
@_@ TEORY DENTUMAN BESAR (BIG BANG) @_@

Persoalan mengenai bagaimana alam semesta yang tanpa cacat ini mula-mula terbentuk, ke mana tujuannya, dan bagaimana cara kerja hukum-hukum yang menjaga keteraturan dan keseimbangan, sejak dulu merupakan topik yang menarik. 

Pendapat kaum materialis yang berlaku selama beberapa abad hingga awal abad ke-20 menyatakan, bahwa alam semesta memiliki dimensi tak terbatas, tidak memiliki awal, dan akan tetap ada untuk selamanya. 

Menurut pandangan ini, yang disebut "model alam semesta yang statis", alam semesta tidak memiliki awal maupun akhir.

Dengan memberikan dasar bagi filosofi materialis, pandangan ini MENYANGKAL adanya Sang Pencipta, dengan menyatakan bahwa alam semesta ini adalah "kumpulan materi yang konstan, stabil, dan tidak berubah-ubah". 
  • Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20 menghancurkan konsep-konsep primitif seperti model alam semesta yang statis. 
Saat ini, pada awal abad ke-21, melalui sejumlah besar percobaan, pengamatan, dan perhitungan, fisika modern telah mencapai kesimpulan bahwa alam semesta memiliki awal, bahwa alam diciptakan dari ketiadaan dan dimulai oleh suatu ledakan besar.

Selain itu, berlawanan dengan pendapat kaum materialis, kesimpulan ini menyatakan bahwa alam semesta tidaklah stabil atau konstan, tetapi senantiasa bergerak, berubah, dan memuai.

Saat ini, fakta-fakta tersebut telah diakui oleh dunia ilmu pengetahuan. Sekarang, marilah kita lihat bagaimana fakta-fakta yang sangat penting ini dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقاً فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
  • "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?  (QS Al-Anbiya  [21]:30)
Dalam ayat ini Allah SWT. menyingkapkan keadaan kaum musyrikin yang tidak memperhatikan keadaan alam ini, dan tidak memperhatikan kejadiannya, padahal dari makhluk-makhluk yang ada di alam ini dapat diperoleh bukti-bukti tentang adanya Allah serta kekuasaan-Nya yang mutlak.
Maka Allah menegaskan, apakah mereka itu buta, sehingga tidak dapat melihat bahwa langit dan bumi itu dulunya merupakan suatu yang pada dan tidak berpecah; kemudian Allah dengan kekuasaan-Nya yang mutlak dan dapat berbuat apa-apa yang dikehendaki-Nya memisahkan langit dan bumi itu, dan masing-masing beredar menurut garis edarnya, dan melakukan tugas tertentu, dengan sebaik-baiknya. 

Dari keterangan ini dapat pula kita pahami, bahwa Alquran benar-benar merupakan mukjizat yang besar. Dan kemukjizatannya tidak hanya terletak pada gaya bahasa dan rangkuman yang indah, melainkan juga pada isi yang terkandung dalam ayat-ayatnya, yang mengungkapkan bermacam-macam ilmu pengetahuan yang tinggi nilainya, terutama mengenai alam, dengan berbagai jenis dan sifat serta kemanfaatannya masing-masing.
  • Apalagi jika diingat bahwa Alquran telah mengemukakan semuanya itu pada abad yang keenam sesudah wafatnya Nabi Isa, di saat manusia di dunia ini masih diliputi suasana ketidak tahuan dan kesesatan. 
  • Lalu dari manakah Nabi Muhammad dapat mengetahui semuanya itu, kalau bukan dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya? 
Perkembangan ilmu pengetahuan modern dalam berbagai bidang membenarkan dan memperkokoh apa yang telah diungkapkan oleh Alquran sejak empat belas abad yang lalu. Dengan demikian, kemajuan ilmu pengetahuan itu seharusnya mengantarkan manusia kepada keimanan terhadap apa yang diajarkan oleh Alquran, terutama keimanan tentang adanya Allah serta semua sifat-sifat kesempumaan-Nya. 

Setelah menghidangkan ilmu pengetahuan tentang kejadian alam ini, yaitu langit dan bumi, selanjutnya dalam ayat ini Allah mengajarkan pula suatu prinsip ilmu pengetahuan yang lain, yaitu mengenai kepentingan fungsi air bagi kehidupan semua makhluk yang hidup di alam ini, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Maka Allah berfirman:
".. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup". 

Pada masa sekarang ini, tidak ada orang yang akan mengingkari pentingnya air bagi manusia, baik untuk bermacam-macam keperluan hidup manusia sendiri, maupun untuk keperluan binatang ternaknya, ataupun untuk kepentingan tanam-tanaman dan sawah ladangnya, sehingga orang melakukan bermacam -macam usaha irigasi, untuk mencari sumber air dan penyimpanan serta penyalurannya. Banyak bendungan-bendungan dibuat untuk mengumpulkan dan menyimpan air, yang kemudian disalurkan ke berbagai tempat untuk berbagai macam keperluan. Bahkan di negeri-negeri yang tidak banyak mempunyai sumber air, mereka berusaha untuk mengolah air laut menjadi air tawar, untuk mengairi sawah ladang dan memberi minum binatang ternak mereka
  • Ringkasnya manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tak dapat hidup tanpa air. 
Manusia dan hewan sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa makan, asalkan ia mendapatkan minum.
Akan tetapi ia takkan dapat hidup tanpa mendapatkan minum beberapa hari saja.
Demikian pula halnya tumbuh-tumbuhan. Apabila ia tidak mendapatkan air, maka akar dan daunnya akan menjadi kering, dan akhirnya mati sama sekali.
Di samping itu, manusia dan hewan, selain memerlukan air untuk hidupnya, ia juga berasal dari air, yang disebut "nutfah". 

Dengan demikian air adalah merupakan suatu unsur yang sangat vital bagi kejadiaan dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, apabila manusia sudah meyakini pentingnya air bagi kehidupannya, dan meyakini pula bahwa air tersebut adalah salah satu dari nikmat Allah SWT., maka tidak adalah alasan bagi manusia untuk tidak beriman kepada Allah serta untuk mengingkari nikmat-Nya yang tak ternilai harganya.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
  • "Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
  • "Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." (Surat al-Hadid [57]: 1-2)
Pada ayat ini Allah mengungkapkan bahwa semua yang diciptakan Nya, yang berada di langit maupun yang berada di bumi, manusia, jin, binatang, tumbuh-tumbuhan, batu dan lain-lain yang bernyawa ataupun tidak, seharusnya setiap waktu dengan tulus dan ikhlas bertasbih kepada Nya, menyatakan kebesaran Nya, mengakui bahwa Dia lah yang Maha kuasa; semuanya tunduk menyembah Nya serta mematuhi segala perintah Nya dan menjauhkan diri dari semua larangan Nya. 

Dalam ayat lain yang bersamaan maksudnya Allah berfirman: 

سَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيماً غَفُوراً 
  • "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Q.S. Al-Isra' [17]: 44) 
  • Dia pulalah Yang Maha Perkasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat menyaingi-Nya. Dia Maha Bijaksana menciptakan, memerintah dan mengatur makhluk-Nya dengan peraturan yang sudah ditentukan Nya, yang sesuai dengan kehendak Nya. 
Wassalam, TSB




Sejarah Ilmu Nahwu


Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali kaidah-kaidahnya. 

Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain dari sisi bahwa ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan al-Qur’an secara khusus. Hal ini terutama ketika didapati banyak penyim-pangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasa-nya mereka harus menjaga al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”. 

Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatkan perhatian yang luar biasa dalam perkembangannya, sampai-sampai dikatakan, "Ilmu nahwu telah dipelajari dengan giat sampai terbakar." Yang demkian ini tentu saja menunjukkan adanya gerakan-gerakan ilmiah yang cemerlang sepanjang perkembangannya, terutama pada saat orang-orang Kufah memasuki dunia studi ilmu nahwu sebagai rival bagi orang-orang Bashrah yang selama beberapa saat telah terlebih dahulu memegang panji ilmu nahwu. Persaingan positif tersebut telah mengakibatkan berbagai perbaikan dan pengkajian yang mendalam, sehingga ilmu nahwu pun berkembang dengan cepat dan akhirnya mengalami formasi pada periode yang sangat dini, yang hal itu belum terjadi pada ilmu-ilmu yang lain. 

Dan sungguh sejarah kemanusiaan telah mencatat hal tersebut melalui mereka yang telah mengungkap hal yang menakjubkan ini. Sementara, apa yang sejauh ini dipahami oleh orang-orang Arab tidaklah sebagaimana yang digambarkan di atas, dimana orang-orang Arab telah berusaha keras menyusun ilmu yang paling mula-mula dari ilmu-ilmu bahasa, yakni ilmu nahwu. 

Penyusunan ilmu nahwu tidaklah sebagaimana gambaran-gambaran negatif yang telah disebutkan di atas. Penyusunan tersebut mencakup definisi istilah-istilahnya, pembentukan kaidah-kaidahnya, dan penjagaan terhadap hukum-hukumnya. Semua ini merupakan hal yang sungguh-sungguh menakjubkan, yang dilakukan oleh para ahlinya dengan pola pikir Arab. Mereka telah melakukannya dengan tekun dan sungguh-sungguh, meskipun ada sementara kalangan yang karena pretensi buruk meragukan prestasi dan kemampuan intelektual mereka dengan mengatakan, ”Sesungguhnya orang-orang Arab telah berhasil melakukan pekerjaan besar ini dengan bersandar pada orang lain yakni para ahli tata bahasa lain seperti India dan sebagainya. Mereka berargumentasi bahwa kebudayaan Yunani -yang merupakan warisan kebudayaan India- telah beralih ke Arab melalui orang-orang Suryani. 

Ada pula sekelompok orang yang ingin bersikap tengah-tengah diantara dua pendapat yang ada dengan mengatakan, Sesungguhnya dasar-dasar metodologi yang dengan itu orang-orang Arab menyusun Ilmu Nahwu mereka bukanlah milik orang Arab, namun implementasi pengembangannya merupakan pekerjaan orang Arab. Namun, agaknya pendapat yang pertama lebih tepat tanpa ada keinginan untuk melebih-lebihkan dan membuat-buat. 

Dari sini, dan karena hal ini serta yang lainnya, studi tentang sejarah tata bahasa Arab harus dilakukan dengan teliti, tekun, dan bebas tanpa sikap ekstrim, agar menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang bebas dari bias dan manipulasi, yang dipelajari di ma’had-ma’had dan kampus-kampus kita, yang banyak mempelajari bahasa dan tata bahasa Arab. Dengan demikian pada akhirnya para mahasiswa kita akan mengenal khazanah klasik mereka, meyakini orisinalitasnya, dan tsiqah terhadap pemikiran para pendahulu kita yang mana Al-Qur’an telah membukakan mata mereka terhadap kebaikan yang banyak dan ilmu yang beragam. Sebaliknya, mereka pun menjaga al-Qur’an dari manipulasi orang-orang yang sesat, penakwilan orang-orang yang berpretensi negatif, dan syubhat yang ditiupkan oleh orang-orang yang durjana. 

Cikal Bakal Ilmu Nahwu 

Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya. Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian al-Qur'an dari lahn (salah baca). Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyiduu akhaakum fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qannii kitaabak sawthan" 'berhati-hatilah dalam menulis'. Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mem-pengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab seringkali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca al-Qur'an. 

Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurni-kan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Selanjutnya, dengan prakarsa Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang mempunyai komitmen terhadap bahasa Arab dan al-Qur'an, sedikit demi sedikit disusun kerangka-kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan Ilmu Nahwu. Sebagaimana terjadi pada ilmu-ilmu lain, Ilmu Nahwu tidak begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat, melainkan ber-kembang tahap demi tahap dalam kurun waktu yang cukup panjang. 

Ada cerita yang menarik seputar cikal bakal terbentuknya ilmu nahwu diantaranya : 

Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun, ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. 

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu. Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad ad-Du'ali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. 

Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad ad-Du'ali, bahwasanya ketika ia sedang ber-jalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, (مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ) “Apakah yang paling indah di langit?” Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan, (نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ) “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, (اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ) “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”. Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, (مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ) “Betapa indahnya langit.” Bukan, (مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِِ) “Apakah yang paling indah di langit?” Dengan memfathahkan hamzah…" 

Dikisahkan pula dari Abul Aswad ad-Du'ali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat at-Taubah ayat 3 dengan ucapan, (أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ), dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya...” Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah, (أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ) “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” 

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia mem-perbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad ad-Duali, (اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ) “Ikutilah jalan ini”. Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah) 

Kemudian Abul Aswad ad-Du'ali melaksana-kan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang men-cukupi. Kemudian, dari Abul Aswad ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al-Khalil al-Farahidi al-Bashri (peletak ilmu ‘Arudh dan penulis Mu’jam pertama), sampai ke Sibawaih dan Kisa'i (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab). 

Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Bashrah dan Kufy (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang. 

Peletak Dasar Ilmu Nahwu 

Adalah bangsa Arab dahulu pada masa Jahiliyah mendiami jazirah Arab, yang mana mereka tidak bercampur dengan bangsa-bangsa 'Ajam (bukan Arab) melainkan hanya terkadang saja. Dan yang demikian mengakibatkan fasihnya dialek mereka dalam bahasa Arab, dan kuatnya mereka dalam menerangkan bahasa Arab, serta jauhnya mereka dari kesalahan berbicara dan penyimpangan dalam suku Quraisy menempati kedudukan yang mulia, yang menjadikan bahasa Arab. Dan adalah mereka pemuka bagi kabilah-kabilah Arab lainnya. Suku Quraisy-lah yang memonopoli pelayanan terhadap Ka’bah. Dan bangsa Arab pergi menunaikan haji ke Ka’bah setiap tahun untuk tujuan ekonomi, seperti berdagang, saling tukar menukar barang dagangan dan juga tujuan-tujuan kesusasteraan, seperti menyaksikan perkumpulan ahli pidato dan syair di pasar-pasar “Ukadz” dan “Majnah” dan “Dzil Majaz”. 

Tempat-tempat itulah, tempat dimana para penyair dan ahli pidato dari seluruh penjuru bangsa Arab bertemu untuk membanggakan keturunan, berlomba dalam berpidato, saling bersyair, serta ber-hukum kepada orang-orang yang mulia dari kalangan penyair dan ahli pidato, agar mereka menetapkan keputusan atau menghukumi mereka. Dan dari kalangan mereka terdapat seorang hakim yang masyhur yang bernama “adz-Dzibyani”, yang mana keputusannya ditaati dan tidak ditolak. Dan sungguh suku Quraisy dengan aspek-aspek pendorong yang diberikan kepada mereka ini, mampu untuk menjadi suku atau kabilah yang paling bersih dialeknya dan paling fasih bahasa mereka, serta paling mencukupi penjelasannya. Maka dialek Quraisy menguasai atas segala dialek-dialek bahasa Arab. 

Para ahli sastra pun berlomba-lomba mem-pergunakan dialek Quraisy, sehingga tersebarlah dialek itu diseluruh penjuru jazirah Arab, dan hal ini adalah yang memperkenankan diturunkannya al-Qur’an dengan dialek Quraisy ketika “bersinar” matahari Islam atas jazirah Arabiyyah, dan manusia masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, (hal ini) mengharuskan bangsa Arab untuk tersebar di permukaan bumi serta berhubungan dengan manusia, bercampur dengan bangsa selain Arab diseluruh penjuru negeri yang ditaklukkan oleh kaum muslimin. Dimana dahulu (kaum muslimin) adalah “Mujahidin” (pejuang-pejuang agama) yang mana mereka bergerak dengan “dakwah yang baru” ke seluruh penjuru alam. Dan sungguh (hal ini) menimbulkan hubungan erat dengan penduduk negeri-negeri (yang ditaklukkan oleh kaum muslimin). Dan merekapun saling tukar-menukar barang-barang perdagangan. Lalu mereka pun menikahi (penduduk-penduduk negeri yang ditaklukkan itu), maka tumbuhlah generasi baru dari anak-anak yang terlahir yang tidak mampu “mengikat” lidah mereka (dengan bahasa Arab), dari sinilah kefasihan dan kelancaran bahasa Arab, dan tabiat mereka rusak, hingga mucullah “kesalahan pengucapan bahasa Arab”, kemudian memencar dan bertambah luaslah (kesalahan pengucapan bahasa Arab ini) hingga mencemaskan dan menggelisahkan “Mereka yang punya rasa cemburu” pada kefasihan bahasa Arab, dan menggoncangkan jiwa-jiwa mereka. 

Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, ada perbedaan dikalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus. Namun, dari perbedaan-perbedaan itu pendapat yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), al-Mubarrad (wafat 285 H), as-Sairafi (wafat 368 H), ar-Raghib al-Ashfahaniy (502 H), dan as-Suyuthi (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa as-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif. Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu. 

Abul Aswad ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang termenung memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab: "Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad mendatangi Ali dengan membawa lembaran yang bertuliskan antara lain: 

"Bismillahir rahmaanir rahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun wafi'lun waharfun. Fal ismu maa anbaa 'anil musammaa, wal fi'lu maa anbaa a'an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa 'an ma'nan laisa bi ismin walaa fi'lin". 

Artinya : "Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi'il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi'il'. 

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat al-Qur'an: "Inna AIlaaha bariiun minal mu'miniina warasuulihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasuulihi, padahal seharusnya didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab. Ibnu Salam dalam kitabnya Thabaqaatu Fuhuulisy Syu'araa mengatakan "Bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm." Berbagai riwayat dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli dalam rangka men-dukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu. 

Namun demikian, diantara riwayat-riwayat itu masih banyak yang diperdebatkan keabsahannya. Satu riwayat yang cukup populer dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/. 

Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab. Lama-kelamaan, karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemu-kan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan al-Qur'an. Tanda baca itu adalah titik di atas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab). 

Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa di sana banyak sekali pendapat yang menguatkan keabsahan-nya sebagai pioner Ilmu Nahwu (wâdhi`-u `Ilm al-Nahw-i) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amin, bahwa Ibn Qutaybah dalam kitab al-Ma’ârif mengafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang: “Yang pertama kali meletakkan dasar pondasi Nahwu”, Ibn Hajar pun dalam kitab Fî al-Ishâbah mengutarakan hal yang senada: “Orang yang pertama kali memberikan “titik” di mushaf dan meletakkan pondasi Nahwu adalah Abu al-Aswad. Inovasi yang digagas oleh Abu al-Aswad ini, lambat-laun, kemudian disambut hangat oleh para penduduk Arab dikala itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga melahirkan banyak generasi mahir di bidang ilmu Bahasa Arab. 

Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (Wafat 89 H) dan Yahya ibn Ya’mur (Wafat 129 H) langsung sigap mengambil tongkat estafet gurunya dalam mempelopori perkembangan bahasa Arab dari masa ke masa. Selang beberapa tahun kemudian, setelah kematian murid-murid Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu: Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Estafet Khalil ini melahirkan murid brilian, Sibawaih, dengan karya besarnya: “al-Kitâb”. 

TSB