Selasa, 17 Maret 2020

Ibadah Mahdhah

Contoh penyebab mereka melarang semua kebiasaan yang baik yang tidak ada pada zaman Rasulullah

Salah satu penyebab mereka melarang semua kebiasaan yang baik atau semua amal kebaikan yang tidak ada pada zaman Rasulullah seperti sholawat Nariyah, Ratib al Haddad, peringatan hari besar agama Islam, seperti Maulid Nabi, Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain adalah akibat mereka tidak mengetahui atau tidak mengikuti PENGELOMPOKAN / KLASIFIKASI IBADAH dari para ulama terdahulu bahwa IBADAH ada dua macam yakni IBADAH MAHDHAH dan IBADAH GHAIRU MAHDHAH.

AZAS IBADAH MAHDHAH adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.

PRINSIP IBADAH MAHDHAH diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.

PRINSIP IBADAH MAHDHAH bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

Jadi pertanyaan MANA DALILNYA atau IBADAH ITU ADALAH TAUQIFIYAH (tidak ada tempat bagi akal, rasio atau logika atau terima apa adanya) atau ibadah yang HARUS ADA DALILNYA adalah dalam perkara IBADAH MAHDHAH bukan IBADAH GHAIRU MAHDHAH. 

Oleh karenanya dalam IBADAH MAHDHAH berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim (HUKUM ASAL IBADAH ITU HARAM) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya). 

Contoh BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH adalah terlarang sholat subuh tiga rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).

Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih

اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ

“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”

Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.

Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.

Sedangkan AZAS IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

PRINSIP IBADAH GHAIRU MAHDHAH diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah

PRINSIP IBADAH GHAIRU MAHDHAH bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

Jadi dalam IBADAH GHAIRU MAHDHAH tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.

Oleh karenanya dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“

Contoh ibadah ghairu mahdhah adalah kebiasaan yang baik termasuk kebiasaan dzikir, sholawat, ratib dll.

Ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghairu mahdah, karena tidak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus.

Umat Islam dapat berdzikir kapan pun di manapun dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an yang tentu saja terdapat beberapa pengecualian.

Adapun hadits-hadits yang menerangkan jumlah-jumlah dzikir Rasulullah dalam waktu-waktu tertentu biasanya berfungsi sebagai anjuran.

Contohnya umat Islam boleh mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah selama syair atau matan (redaksi) sholawat tersebut tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Contohnya Imam Asy-Syafi’i menyusun dan merutinkan kebiasaan sholawat atas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mana sholawat itu belum pernah disusun oleh ulama-ulama sebelumnya dan termuat dalam kitab Beliau yang berjudul Ar-Risalah yaitu:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُونَ

(Artinya: ”Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Nabi Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu.”)

Atau

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا أَمَرْتَ بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تُحِبُّ أَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تَنْبَغِي الصَّلاَةُ عَلَيْهِ.

Artinya: ”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebanyak jumlah orang yang bershalawat kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebanyak jumlah orang yang tidak bershalawat kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana shalawat yang Engkau perintahkan kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana Engkau suka agar dibacakan shalawat atasnya, dan limpahkanlah pula shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana selayaknya ucapan shalawat atasnya.”

Contoh pada zaman Rasulullah, sholat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah ibadah mahdhah sedangkan kebiasaan para Sahabat membaca surat al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah yang BOLEH DILAKUKAN BERDASARKAN MANFAAT yakni

Dari 'Aisyah radhiyallahu anha mengisahkan ketika seorang Sahabat ditanya tentang kebiasaan dalam shalatnya membaca surat Al Ikhlas, lalu menjawab, 

"Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ 

Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)

atau riwayat yang lain,

"Aku mencintai surat Al Ikhlas" .

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga” 

Jadi SUNNAH TAQRIRIYAH (HADITS TAQRIRIYAH) adalah BID'AH (SUNNAH) yakni CONTOH / TAULADAN dari para Sahabat yang DITETAPKAN oleh Rasulullah sebagai BID’AH (SUNNAH) atau perkara baru (muhdats) yang TIDAK TERLARANG.

DIAMNYA Rasulullah atau Rasulullah MEMBOLEHKAN (MENDIAMKAN) atas kebiasaan yang tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah karena BID’AH atau perkara baru (muhdats) atau kebiasaan baru para Sahabat tersebut TELAH DITETAPKAN oleh Rasulullah BUKAN perkara TERLARANG.

Jadi jelaslah bahwa ada bagian dari sholat yang memang TIDAK TERLARANG untuk berbeda.

Begitupula bukan perkara terlarang bagi umat Islam mempunyai kebiasaan dalam sholatnya membaca surat selain surat Al Ikhlas walaupun kebiasaan tersebut diamalkan TANPA SEPENGETAHUAN Rasulullah.

Imam Ibn Hajar telah menjelaskan :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًالِغَيرِْهِ

“pada riwayat ini menjadi dalil diperbolehkannya mengkhususkan sebagian surat Al Qur’an dengan keinginan diri padanya, dan memperbanyaknya dengan kemauan
sendiri, dan tidak bisa dikatakan bahwa perbuatan itu telah mengucilkan surat lainnya”
(Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Juz 3 hal 150 Bab Adzan)

Begitupula Rasulullah menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik walaupun sedikit secara rutin, konsisten atau istiqomah.

Rasulullah bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”

Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)

Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkanny­a menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. (Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut).

Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan bahwa peringatan Maulid Nabi maupun peringatan hari besar agama Islam lainnya seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain hukumnya adalah MUBAH (BOLEH)

Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal kebaikan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)

Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat.

Perkara yang HARUS ada DALILNYA adalah untuk IBADAH MAHDHAH.

Sedangkan peringatan Maulid Nabi bukan IBADAH MAHDHAH melainkan IBADAH GHAIRU MAHDHAH.

Alm KH Ali Mustafa Yakub , Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta sebelumnya, menyampaikan bahwa peringatan Maulid Nabi termasuk wilayah muamalah, “selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja”. Beliau mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang.

Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan

Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan.

Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.

Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf

Firman Allah Ta’ala yang artinya

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu hukum asalnya adalah mubah (boleh)

Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena melanggar larangan Rasulullah.

Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).

Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)

Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala atau sunnah (mandub)

Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.

Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).

Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail

Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.

Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.

Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.

Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?

Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.

Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.

Begitupula kaum muslim mendapatkan pahala dari bentuk kegiataan yang dilaksanakan untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi tersebut.

Dengan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya maka hukum peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh). 

Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ghailan bin Jarir bahwa mendengar Abdullah bin Ma’bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu,

قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

Rasulullah pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, Beliau menjawab: “Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku.” (HR Muslim 1977)

Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“. 

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Tidak ada komentar:

Posting Komentar